Penampilan tersebut menjadi momen istimewa yang menguatkan identitas Kuningan sebagai Kabupaten Angklung. Penampilan kolosal ini dipandu oleh Fendi, seorang guru sekaligus warga asal Kelurahan Citangtu. Ia dikenal sebagai salah satu pelopor angklung diatonis, jenis angklung yang dapat memainkan tangga nada lengkap seperti alat musik modern.
Fendi mengawali dengan menyampaikan, bahwa angklung ada tanda-tandanya, disini ada angka 1 2 3 4 5 6 1 (Titik). “Tangan kiri memegang angklung sebelah atas, Tangan kanan memegang bagian bawah,” katanya.Lagu “Terpujilah Guruku” dan “You Raise Me Up” mengalun merdu, diiringi angklung di mana semuanya mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia. Suasana penuh khidmat dan haru mewarnai momen tersebut, terlebih saat para peserta tampak bergerak serempak mengikuti irama angklung.
Lirik lagu “Terpujilah Guruku” turut diiring Kolosal Angklung
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Bupati Kuningan Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si yang juga dikenal sebagai penggagas Kuningan sebagai Kabupaten Angklung Diatonis, memberikan apresiasi tinggi atas penampilan para guru dan pelajar. “Harmoni angklung ini menggambarkan semangat kolaborasi dalam dunia pendidikan yang menyatukan dengan kearifan lokal yang kita jaga bersama,” ungkapnya.
Menurutnya, Ini bukan sekadar pertunjukan, tapi bentuk ekspresi budaya dan pendidikan karakter melalui seni. Angklung menjadi medium kebersamaan yang mampu menyatukan lintas generasi. Sekaligus menjaga dan merawat sebagai khazanah kearifan lokal, juga kekayaan bangsa.Sebelumnya angklung tidak bisa dimainkan bersamaan dengan musik kontemporer seperti musik Pop, Jazz ataupun rock seperti saat ini. Angklung hanya bisa mengikuti jenis nada pentatonik seperti gamelan, gambang kromo dan lain sebagainya.
Namun pada tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru SMP 1 Kuningan, berguru kepada kuwu Citangtu bernama lengkap Muhammad Sotari atau yang biasa dikenal dengan nama Pak Kucit, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Daeng Sutigna, belajar membuat angklung, mulai dari memilih bambu yang tepat, sampai menyesuaikan nadanya hingga pas, kepada pak Kucit, pada masa itu.
Angklung inovasi tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.Tangga nada diatonis adalah tangga nada yang mempunyai dua jarak tangga nada, yakni satu dan setengah.
Jenis tangga nada Diatonis ini sering ditemukan pada musik-musik modern atau kontemporer.Karya angklung diatonis inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisional Indonesia mampu memainkan musik-musik Internasional